Pasar Modal adalah kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan modal, seperti obligasi dan efek.
Pasar modal berfungsi menghubungkan investor, perusahaan dan institusi
pemerintah melalui perdagangan instrumen keuangan jangka panjang.
Di Indonesia, Pasar Modal terdiri atas lembaga-lembaga sebagai berikut:
1- Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)
2- Bursa efek, saat ini ada dua: Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya namun sejak akhir 2007, Bursa Efek Surabaya melebur ke Bursa Efek Jakarta sehingga menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).
4- Lembaga Kliring dan Penjaminan, saat ini dilakukan oleh PT. Kliring Penjaminan Efek Indonesia (PT. KPEI)
5- Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, saat ini dilakukan oleh PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (PT. KSEI).
Dalam
kaitannya dengan pasar modal ini, ada tiga aspek yang harus
diperhatikan, yaitu barang dan jasa yang diperdagangkan, mekanisme yang
digunakan dan pelaku pasar.
Pertama, Barang yang diperdagangkan adalah efek dan obligasi. Dalam bahasa Inggris, Efek disebut security,
yaitu surat berharga yang bernilai serta dapat diperdagangkan. Efek
dapat dikategorikan sebagai hutang dan ekuitas sebagaimana obligasi dan
saham. Perusahaan atapun lembaga yang menerbitkan efek disebut Penerbit
Efek. Efek tesebut dapat terdiri dari surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, unit penyertaan kontrak investasi kolektif (seperti misalnya reksadana, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek). Kualifikasi dari suatu efek adalah berbeda-beda sesuai dengan aturan di masing-masing negara.
Efek
dapat berupa sertifikat atau dapat berupa pencatatan elektronis yang
bersifat: (1) Sertifikat atas unjuk, di mana pemilik yang berhak atas
efek tersebut adalah sipembawa (pemegang efek); (2) Sertifikat
atas nama, di mana pemilik efek, pemilik yang berhak atas efek tersebut
adalah yang namanya tercatat pada daftar yang dipegang oleh penerbit
atau biro pencatatan efek.
Dalam
hal ini, semua bentuk efek dan obligasi yang perjualbelikan di pasar
modal tidak terlepas dari dua hal, yaitu riba dan sekuritas yang tidak
ditopang dengan uang kertas (fiat money) yang bestandar emas
dan perak. Dengan begitu, nilai efek dan obligasi yang diperdagangkan
pasti akan mengalami fluktuasi. Dari aspek ini, efek dan obligasi
tersebut hukumnya jelas haram. Karena faktor riba dan sekuritasnya yang
haram.[1]
Dalil keharamannya adalah dalil keharaman riba, sebagaimana yang dinyatakan di dalam al-Quran:
﴿وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا﴾
“Allah telah menghalalkan jual-beli, dan mengharamkan riba.” (Q.s. al-Baqarah [02]: 275)
Juga
dalil tentang penetapan emas dan perak sebagai mata uang dan standar
mata uang. Antara lain, Islam melarang menimbun emas dan perak, padahal
keduanya merupakan harta yang halal dimiliki. Islam juga mengaitkan emas
dan perak dengan hukum yang tetap, seperti dalam kasus diyat, kadar
pencurian, dan sebagainya. Islam menjadikan emas dan perak sebagai alat
hitung baik terhadap barang maupun jasa, seperti Dinar, Dirham, Mitsqal,
Qirath dan Daniq. Islam mewajibkan zakat uang dalam bentuk emas dan
perak, dengan nishab emas dan perak. Islam juga menetapkan,
bahwa hukum pertukaran dalam transaksi keuangan adalah dengan
menggunakan emas dan perak. Semuanya ini membuktikan, bahwa emas dan
perak adalah mata uang, dan ditetapkan oleh Islam sebagai standar mata
uang, baik uang kertas maupun kertas berharga yang lainnya.[2]
Kedua, mekanisme (sistem) yang
digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan
komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komuditi yang bersangkutan,
bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan
komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli, adalah sistem yang
batil dan menimbulkan masalah, bukan sistem yang bisa menyelesaikan
masalah, dimana naik dan turunnya transaksi terjadi tanpa proses serah
terima, bahkan tanpa adanya komiditi yang bersangkutan.. Semuanya itu
memicu terjadinya spekulasi dan goncangan di pasar. Mekanisme (sistem)
seperti ini jelas melanggar ketentuan syariah, dimana ketentuan
serah-terima, dan kepemilikan barang sebelum transaksi jual-beli, tidak
pernah ada.
Mengenai jual-beli barang harus ada serah terima, karena ketika Hakim bin Hazzam bertanya kepada Rasulullah saw.:
«يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَشْتَرِي بُيُوعًا فَمَا يَحِلُّ لِي مِنْهَا
وَمَا يُحَرَّمُ عَلَيَّ قَالَ فَإِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعًا فَلاَ تَبِعْهُ
حَتَّى تَقْبِضَهُ»
“Ya
Rasulullah, saya membeli beberapa barang. Mana yang halal dan haram
bagi saya? Beliau pun menjawab: ‘Jika kamu membeli barang, maka
janganlah kamu menjualnya sampai kamu menyerahterimakannya.” (H.r. Ahmad dari Hakim bin Hazzam)
Sabda Nabi yang menyatakan, “Fala tabi’hu hatta taqbidhahu”
menunjukkan, bahwa sebelum terjadinya serah-terima, maka transaksi
jual-beli tersebut belum dianggap sah. Jika jual-belinya belum sah,
berarti status kepemilikan atas barang yang dijualbelikan juga belum
sah. Konsekuensinya, jika barang tersebut dijual lagi, berarti sama
dengan menjual barang yang bukan atau belum menjadi miliknya. Dalam
konteks ini, berlaku hadits Nabi dari Hakim bin Hazzam:
«قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ الرَّجُلُ يَطْلُبُ مِنىِّ الْبَيْعَ وَلَيْسَ عِنْدِيْ أَفَأَبِيْعُهُ لَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ الله e: لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»
“Ya
Rasulullah, ada seseorang meminta saya menjual sesuatu yang bukan
menjadi milik saya, apakah boleh saya menjualnya kepada orang itu?
Beliau menjawab: ‘Kamu tidak boleh menjual sesuatu yang bukan menjadi
milikmu.” (H.r. Baihaqi dari Hakim bin Hazzam)
Ketiga, pelaku pasar. Pelaku pasar yang bermain di pasar modal bisa dipilah menjadi
dua, yaitu asing dan domestik. Hukum pelaku pasar domestik sama dengan
pelaku pasar domestik lain di pasar-pasar lain, selain pasar modal.
Meski khusus untuk pasar modal, statusnya berbeda, karena dua aspek di
atas. Adapun untuk pelaku pasar asing, maka hukumnya bisa dikembalikan
pada status kewarganegaraan masing-masing. Hukum masuknya mereka di
pasar domestik kembali kepada status negara mereka. Jika negara mereka
adalah negara Kafir Harbi, seperti Amerika, Inggris dan Israel,
misalnya, maka mereka dilarang masuk. Dengan kata lain, hukumnya haram.
Namun, jika negara mereka adalah Kafir Mu’ahad, maka pelaku asing
tersebut diperbolehkan.
Dari
ketiga aspek di atas bisa disimpulkan, bahwa pasar modal adalah sarana
yang digunakan untuk memperjualbelikan barang atau jasa yang haram,
dengan menggunakan mekanisme dan sistem yang diharamkan, dan didominasi
oleh para pelaku asing, yang nota bene tidak memihak pada kepenting domestik. Dengan demikian, berlaku kaidah usul:
«الوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ»
“Sarana yang bisa mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya juga haram.”
Jadi, hukumnya jelas haram. Wallahu a’lam.[rofx/hti]
[1] Lihat, al-‘Allamah as-Sayikh Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, 2004, hal. 175-176. Dr. Mahmud al-Khalidi, Iqtishaduna: Mafahim Islamiyyah Mustanirah, ‘Alam al-Kutub al-Hadits, Yordania, 2005, hal. 375.
[2] Untuk lebih detail, silahkan baca buku an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, karya al-‘Allamah as-Sayikh Taqiyuddin an-Nabhani, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, 2004, hal. 271-273.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar